Pada masa Kerajaan Mataram Surakarta Terjadilah
Penyerangan Belanda di Batavia, Penyerangan tersebut di pimpin oleh Sunan
Amangkurat IX terjadi tahun 1850. kemudian beliau wafat di Tegal Arum.
Dalam penyerangan tersebut ada seorang prajurit yang dapat meloloskan diri dari
kepungan Belanda, dia bergerak ke selatan dan sampailah Di Magelang yang
tepatnya sampai di Desa Salam Kanci, kemudian terus bergerak ke selatan
sampailah pada Kecamatan Bandongan, di
situlah dia menemukan jodohnya, rupa – rupanya dia tercium oleh penjajah,
sehingga dia bergerak lagi kearah selatan, yang kemudian tiba di daerah hutan,
disitulah dia memulai hidupnya bersama isterinya, dengan berjalannya waktu
berkembanglah sehingga terjadilah sebuah Dusun.Karena kesaktian dari prajurit
tersebut, Dusun tersebut apabila dilihat dari jauh kelihatan Dusun yang ramai
dan banyak penduduknya, tetapi apabila penjajah itu masuk yang terlihat
hanyalah hutan belantara yang banyak lubang – lubang rumah tikus. Dengan
keadaan yang semakin ramai dan berkembang kemudia Dusun itu di beri nama Dusun
Wonosari Wono = Hutan dan Sari = Ramai.
Saat itu juga ada seorang kyai bernama Mbah
Gebug yang berasal dari Yogyakarta juga dapat meloloskan diri dari
penjajahan Belanda. beliau seorang kiyai, dengan berkembangnya waktu mbah Gebuk
mempunyai keturunan 2 orang anak laki – laki namanya Muhammad Nur dan Nur
Muhammad.
Kondisi alam saat itu masih semak belukar,
aktifitas awal mbak gebuk saat itu
mendirikan tempat Ibadah berupa musholla yang atapnya terbuat dari ijuk
yaitu pada tahun 1860,seiring dengan berkembangnya waktu dan jaman musholla
sederhana di bangun menjadi masjid yang lengkap dengan bedugnya, konon katanya
bedug tersebut waktu di tabuh gema suaranya terdengar sampai ke Yogyakarta,
kemudian bedug tersebut akan dibawa ke yogyakarta, akan tetapi tidak ada orang
yang kuat mengangkat sehingga di bagi menjadi 2 yang satu di bawa ke Yogyakarta
dan yang satu masih ada sampai Sekarang.
Awalnya Dusun ini
bernama Krajan, kemudian di tetapkan menjadi Prajegan berasal dari kata ajeg
yang berarti terus menerus. Pada tahun 1890 Mbah Kebuk
meninggal dunia dan di makamkan di belakang masjid Attaqwa Dusun Prajegan.
Peninggalan seni budaya yang masih di lestarikan yaitu kesenian Kubro Siswo.
Pada Jaman Penjajahan
Belanda kegiatan ekonomi terasa amat sulit, sehingga mata pencaharian
masyarakat saat itu bermacam – macam selain hidup dari hutan dan mengolah
potensi yang ada juga mereka yang memiliki ketrampilan membuat anyaman dari
bambu mereka kembangkan sampai sekarang.
Adalah seorang pendiri Dusun Plabuhan
yaitu Mbah Singo Yudho sebagai pendiri Plabuhan Lor dan Mbah Derpo
Yudho sebagai pendiri Plabuhan kidul,
keduanya berprofesi sebagai penjual anyaman bambu “IRIG” (bhs Jawa)
hasilnya di jual hingga sampai ke Yogyakarta. Kata Plabuhan diambil dari
kata Labuh artinya dalam bahasa Jawa berarti awal mula suatu pekerjaan.
Menurut masyarakat Desun Plabuhan yang tertua, bahwa Mbah Singo Yudho dan
Mbah Derpo Yudho hingga saat ini tidak di ketahui keberadaannya atau
telah MOKSA ( tiba – tiba menghilang).Peninggalan seni budaya yangmasih di
lestarikan yaitu kesenian Jathilan dan Kuda Lumping
Dalam menuliskan sebuah sejarah Dusun tidak akan
bisa lepas dari Cikal – bakal ( Awal mula yang merintis ) Cikal Bakal Dusun Kwangsan
adalah Mbah Wongso dan kyai Mekukuhan, kedua orang tersebut
adalah sesepuh Dusun dan sebagai pendiri Dusun Kwangsan,sebelum
terjadinya Dusun Kwangsan dusun ini terbagi menjadi 2 yaitu Dusun
Dukuh yang di dirikan oleh Kyai Mekukuhan sedangkan Dusun
Kwangsan didirikan oleh Kyai Wongso, mereka itu adalah saudara
kandung, Kyai Mekukuhan adalah sebagai kakak yang tertua, dari cerita
sejarah tersebut ada hal yang sampai sekarang di yakini bahwa trah kaeturunan kyai
Mekukuhan lebih tua di bandingkan dengan kyai Wongso, sehingga berpengaruh
sampai sekarang contoh : jika ada pengantin laki – laki Kwangsan menikah dengan
Perempuan berasal dari Mekukuhan pasti terjadi perceraian, sehingga hal ini di
yakini sampai sekarang. Dari cerita diatas akhirnya para tokoh Dusun waktu itu
sepakat untuk menyebut Dusun ini sebagai Dusun Kwangsan, meskipun Dukuh
juga masih di sebut, akan tetapi selalu di ikuti dengan Kwangsan.
Konon ceritanya lagi Dusun Kwangsan
seperti pulau kecil karena di kelilingi oleh 2 sungai yaitu sungai mranti
berada di sebelah timur dan sungai bendo berada di sebelah barat sampai ke
selatan. Sampai sekarang sungai tersebut masih mengalir dan menyatu mengalir ke
sungai Progo.
Di Dusun ini juga ada seorang Prajurit yang
berasal dari Yogyakarta bernama Simbah Kyai Zakaria beliau seorang
pelarian dari masa penjajahan Belanda, beliau meninggal dunia dan di makamkan
di Dusun Kwangsan. Peninggalan seni budaya yang masih di lestarikan yaitu Seni
Karawitan dan Klonengan.
pada masa perjungan Pangeran Diponegoro
melawan penjajah Belanda masa pemerintahan Mataram yang kemudian menjadi
kesultanan Ngayogyakarta Hadi Ningrat. Salah seorang pengikut Pangeran
Diponegoro yang juga seorang ulama yang menjadi cikal bakal berdirinya Dusun Papohan
beliau bernama Kyai Fuad yang terkenal sakti dan ampuh, beliau
menghindari kejaran dari penjajah Belanda dan dan menetap di suatu
tempat yang konon masih berwujud hutan yang kemudian dijadikan sebuah pemukiman
/Dusun.
Dusun itu bernama Papohan,
sedangkan nama Papohan diambil dari kata Ampuh, karena memang
pendiri dari Dusun ini terkenal keampuhannya bahkan pada jaman itu beliau di
juluki ” Mbah Ampuh” kemudia orang lain mengenal dengan sebutan “mbah Poh” yang
kemudian dijadikan nama Dusun yaitu Papohan yang mempunyai arti dan
maksud tempatnya orang – orang ampuh, hal ini dikuatkan dengan tradisi nenek
moyang /pendiri Dusun Papohan dan keturunannya melakukan tirakat dan olah batin
dengan tuntutan ajaran agama isla, karena memang sejak berdirinya Dusun ini
masyarakat sudah memeluk agama islam, dan dalam melaksanakan kegiatan social
dan keagamanpun menurut tuntunan agama islam, sebagai contoh seni budaya yang
pernah ada yaitu: Gatholoco, Kadhoro, Sabto Tomo dan Badui dari ke empat seni budaya ini semua
lirik dan syairnya menggunakan syair arab dan di maksudkan untuk syiar agama
islam kepada anak cucu/keturunan di Dusun Papohan.
Dari sisi mata
pencaharian nenek moyang Dusun Papohan adalah petani, walaupun tidak semua
memiliki sawah, adapun peninggalan nenek moyang Dusun Papohan yang sampai saat
ini masih di lestarikan diantaranya: seni budaya Khadoro yaitu sebuah puji –
pujian yang di tujukan untuk memuliakan Rosulullah Muhammad S.A.W. Peninggalan
lain yang sampai saat ini masih ada adalah sebuah makam Simbah Kyai Fuad
yang unik dan jarang di temukan yaitu gundukan tanah yang tinggi serta
kering dan tidak terkikis meskipun terkena air, serta masih ada
beberapa rumah tradisional yang masih utuh dari pertama didirikan hingga kini
belum mengalami perbaikan/ perubahan.
Desa Prajegsari
terdiri dari 5 Dusun yaitu Dusun Wonosari, Prajegan, Plabuhan,Kwangsan dan
Papohan sedangkan Prajegsari di ambil dari AJEG dan SARI Ajeg berarti Terus menerus dan Sari
artinya ramai, harapan dari pendiri waktu itu daerah yang tadinya hutan
dan semak belukar sepi menjadi Desa yang terus menerus ramai.
Prajegsari, 29 Maret 2010
Kepala Desa Prajegsari
( Rozap Nurdin )
1. Sumber
informasi
dari tokoh masyarakat dan sesepuh
yang paham akan
sejarah
Dusun masing –
masing.
2. Di Edit oleh Panitia Desa
Wisata